EFFUSI PLEURA MALIGNA
A. PENDAHULUAN
Effusi pleura
adalah terkumpulnya cairan di dalam rongga pleura dengan jumlah yang lebih
besar dari normal ( nilai normal 10-20 cc), sehingga dapat dinilai dengan
pemeriksaan radiologis dan munculnya kelainan restriktif pada paru.
Tingkat besarnya effusi pleura ditentukan
oleh faktor-faktor :
a.
Jumlah cairan yang sedemikian
banyak sehingga terjadi pemburukan fungsi restriktif.
b.
Kecepatan pembentukan cairan.
Makin cepat terjadi pembentukan cairan makin memperburuk keadaan penderita.
c.
Jenis cairan. Serohemorhagik
lebih berbahaya dari non sero hemorhagik. Memburuknya fungsi paru ini
ditentukan oleh jumlah cairan yang terbentuk dalam satuan waktu
Untuk
menggambarkan kecepatan pembentukan ini terdapat istilah effusi pleura maligna.
Dimana jumlah cairan yang terbentuk jauh lebih besar dari jumlah cairan yang
diabsorbsi sehingga menimbulkan kelainan fungsi restriktif selain dari
pergeseran alat-alat mediastinal, pembentukan cairan ini disebabkan oleh keganasan.
Bila terjadi
pergeseran alat mediastinal baik yang disebabkan oleh terbentuknya cairan
maupun karena aspirasi cairan, kedua keadaan dapat menimbulkan kegawatan paru.
Persoalan pokok
pada penderita effusi pleura maligna adalah mengatasi penambahan jumlah cairan yang terjadi secara massive
dalam waktu singkat. Makin tinggi kecepatan pembentukan cairan pleura makin
tinggi pula tingkat kegawatan yang terjadi. Para
penyelidikan juga membuktikan bahwa pembentukan cairan pleura karena tumor
ganas baik metastasis ataupun primer dari pleura merupakan tanda prognosa yang
buruk.
B. ETIOLOGI
Sebagian besar
penyebab dari effusi pleura maligna ditimbulkan oleh tumor ganas paru, dan
dapat disebabkan pula oleh berbagai penyakit antara lain infeksi (TBC, virus,
parasit, jamur atau berbagai kuman lainnya). Sedangkan secara teoritis dapat
timbul oleh karena malnutrisi, kelainan sirkulasi limphe, trauma thorak,
infeksi pleura, sirosis hepatis, meigh syndrome, sub phrenic abses, vena cava
superior syndrome, SLE, rheumatoid artritis dan radioterapi mediastinal serta
berbagai sebab yang belum jelas (idiopatik).
Dari berbagai
penyebab ini keganasan merupakan sebab yang terpenting ditinjau dari kegawatan
paru dan angka ini berkisar antara 43-52 %. Berdasarkan jenis tumornya bisa karena
tumor primernya atau metastasis dari tempat lain. Tumor-tumor primer lebih
jarang menyebabkan effusi pleura dari pada tumor metastasis. Akan tetapi bila
terdapat mesotelioma sebagian besar akan menyebabkan effusi pleura maligna.
Tumor-tumor
pleura yang sering menimbulkan cairan pleura antara lain bronchogenig ca, ca
mamma, limphoma atau tumor-tumor dari tempat lain seperti colon, rectum,
abdomen, cervic, renal, kelenjar adrenal, pankreas, esophagus, thyroid, testis,
osteogenic sarcoma dan multiple myeloma.
C. PATOGENESIS
Patogenesis terbentuknya effusi pleura dapat dibagi antara lain:
1.
Non Malignancy
Dalam keadaan fisiologi cairan pleura berkisar antara 10-20 cc dan
cairan ini bervariasi pada latihan fisik. Sedangkan tekanan hidrostatik intra
pleura adalah minus 5 cm H2O. Menurut teori driving pressure adalah sama dengan
perbedaan tekanan hidrostatik ( tekanan intra pleura dikurangi tekanan
hidrostatik kapiler dikurangi dengan tekanan hidrostatik antara kapiler dan
tekanan ini besarnya 6 cmH2O). Jadi dasar pembentukan cairan ini adalah
perbedaan tekanan hidrostatik lebih besar dari tekanan osmotik.
Pada pleura visceralis terjadi sebaliknya dimana perbedaan tekanan
osmotik lebih besar dari pada tekanan hidrostatik. Pada pleura visceralis
terjadi pengisapan cairan dengan kekuatan pengisapan sama dengan perbedaan
tekanan osmotik intra kapiler dan intra pleura (reabsorbsion pressure 9 mmHg)
Sebagaimana diketahui tekanan hidrostatik intra kapiler pada pleura
parietalis 30 mmHg, tetapi tekanan hidrostatik kapiler pada pleura
visceralis 11 mmHg. Sedangkan faktor
yang lain dapat dianggap konstan , yakni tekanan hidrostatik intra pleura 5 mm
Hg, tekanan osmotik intra pleura 6 mmHg dan tekanan osmotik intra kapiler 32
mmHg. Dengan perkataan lain di pleura parietalis berlaku rumus:
PD =
(PHC-PHP)-(POC-POP)
= (30-(-5)-(32-6)
= 9 cmH2O
Pada pleura
visceralis :
PD =
(11-(-5)-(321-6)
= - 10 cmH20
Secara teoritis
pembentukan cairan dapat dibagi atas :
A.
Eksudat
a.
Permeabilitas kapiler pleura
bertambah
b.
Pengaliran cairan limphe rongga
pleura terhambat
B.
Transudat, yang terdapat pada :
a.
Bendungan sistemik dari arteri
pulmonalis
b.
Hipoproteinemia disertai
merendahnya koloid osmotik plasma
c.
Tekanan intra pleura yang
sangat negatif
d.
Perembesan transudat intra
peritoneal melalui sistem limpha dan menembus diaphragma ke rongga pleura.
2.
Effusi pleura maligna
Pada effusi
pleura maligna faktor-faktor fisiologis ini tidak lagi dapat diperhitungkan
oleh karena faktor mekanisme pembentukan cairan memberikan gambaran patologis :
a.
Erosi pembuluh darah dan
pembuluh limphe
b.
Obstruksi pembuluh darah atau
pembuluh limphe
c.
Effusi oleh karena skunder
infeksi dari tumor
d.
Implantasi sel tumor pada
pleura
Pembentukan
cairan yang demikian menyebabkan cairan cepat terkumpul dan bertambah dimana
terbentuk secara massive.
D. DIAGNOSA
Diagnosa dari effusi pleura ditegakkan atas dasar keluhan dari
penderita dan dapat dibedakan atas
1.
Riwayat Penyakit, dimana
terdapat :
a.
Keadaan uum yang lemah
b.
Terdapatnya dispneu
c.
Terdapatnya rasa nyeri dada
d.
Suhu tubuh yang tidak tetap
2.
Pemeriksaan Fisik yang ditandai
dengan :
a.
Hemithorak yang kurang bergerak
b.
Vocal fremitus berkurang
c.
Perkusi redup
d.
Suara pernafasan menghilang
Secara teoritis dapat pula ditentukan garis Ellis Damoiseu, namun
pemeriksaan rontgen laebih dapat memberikan tanda-tanda yang pasti. Pada
gambaran radiologis ditemukan gambaran perselubungan, ruang antar iga yang
melebar dan desakan pada alat mediastinum. Disamping tanda yang pasti adanya
meniskus pada permukaan cairan dan dapat dibuktikan terdapatnya pergeseran cairan
pada photo lateral decubitus.
Di samping itu kadang-kadang suatu massa tumor memberikan gambaran Golden S
sign, dimana permukaan conveks sedangkan meniscus cairan memberikan gambaran
konkaf. Bentuk dimana didapatkan bayangan cairan pleura sering sukar dibedakan
dengan atelektasis lebih-lebih terdapat atelektasis dan cairan pleura
bersama-sama yang memberikan gambaran radiologis yang tak jarang pada kanker
paru yang tumbuh intra luminer.
3.
Pleura punctie
Dapat memastikan adanya cairan dalam pleura dan jenis cairan
eksudat, transudat,hemorhagic atu pus. Walaupun tes biokimia meliputi
alkalinephospatase, lacticodehidrogenase, amilase, glucosa, protein dan lemak
atau pemeriksaan sedimen dari pleura yaitu eritrosit, leukosit ataupun
pemeriksaan bakteriologis, akan tetapi secara makroskopis cairan ini telah
dapat dilihat.
Penyebab yang pasti dari effusi pleura hanya ditegakkan atas dasar
sel-sel ganas atau kuman-kuman penyakit dari cairan punksi maupun biopsi
pleura.
E. TERAPI
1.
Aspirasi cairan pleura
Punksi pleura ditujukan untuk menegakkan diagnosa effusi plura yang
dilanjutkan dengan pemeriksaan mikroskopis cairan. Disampng itu punksi dituukan
pula untuk melakukan aspirasi atas dasar gangguan fugsi restriktif paru atau
terjadinya desakan pada alat-alat mediastinal.
Jumlah cairan yang boleh
diasirasi ditentukan atas pertimbangan keadaan umum penderita, tensi dan nadi.
Makin lemah keadaan umm penderita makin sedikit jumlah cairan pleura yang bisa
diaspirasi untuk membantu pernafasan penderita.
Komplikasi yang
dapat timbul dengan tindakan aspirasi :
a.
Trauma
Karena aspirasi
dilakukan dengan blind, kemungkinan dapat mengenai pembuluh darah, saraf atau
alat-alat lain disamping merobek pleura parietalis yang dapat menyebabkan
pneumothorak.
b.
Mediastinal Displacement
Pindahnya
struktur mediastinum dapat disebabkan oleh penekaran cairan pleura tersebut.
Tetapi tekanan negatif saat punksi dapat menyebabkan bergesernya kembali
struktur mediastinal. Tekanan negatif
yang berlangsung singkat menyebabkan pergeseran struktur mediastinal kepada
struktur semula atau struktur yang retroflux dapat menimbulkan perburukan
keadaan terutama disebabkan terjadinya gangguan pada hemodinamik.
c.
Gangguan keseimbangan cairan, Ph, elektroit, anemia dan
hipoproteinemia.
Pada aspirasi
pleura yang berulang kali dalam waktu yang lama dapat menimbulkan tiga pengaruh
pokok :
a.
Menyebabkan berkurangnya
berbagai komponen intra vasculer yang dapat menyebabkan anemia, hipprotein, air
dan berbagai gangguan elektrolit dalam tubuh
b.
Aspirasi cairan pleura menimbulkan
tekanan cavum pleura yang negatif sebagai faktor yang menimbulkan
pembentukan cairan pleura yang lebih banyak
c.
Aspirasi pleura dapat
menimbulkan skunder aspirasi.
2.
Water Seal Drainage
Telah dilakukan oleh berbagai penyelidik akan tetapi bila WSD ini dihentikan
maka akan terjadi kembali pembentukan cairan.
3.
Penggunaan Obat-obatan
Penggunaan berbagai obat-obatan pada pleura effusi selain hasilnya
yang kontraversi juga mempunyai efek samping. Hal ini disebabkan pembentukan cairan karena malignancy adalah karena erosi pembuluh darah. Oleh
karena itu penggunaan citostatic misalnya tryetilenthiophosporamide, nitrogen
mustard, dan penggunaan zat-zat lainnya seperi atabrine atau penggunaan talc poudrage tidak memberikan
hasil yang banyak oleh karena tidak menyentuh pada faktor patofisiolgi dari
terjadinya cairan pleura.
Pada prinsipnya metode untuk menghilangkan cairan pleura dapat pula
menimbulkan gangguan fungsi vital . Selain aspirasi thoracosintesis yang
berulang kali, dikenal ula berbagai cara lainnya yaitu :
1.
Thoracosintesis
Dapat dengan
melakukan apirasi yang berulang-ulang dan dapat pula dengan WSD atau dengan
suction dengan tekanan 40 mmHg
2.
Pleurodysis
Dapat
dipergunakan darah atau glukosa atau dengan talc poudrage dengan tujuan untuk
menghilangkan rongga pleura.
3.
Pleurectomy/ dekortikasi
Dengan tujuan
untuk menghilangkan pleura, sering dilakukan pada carcinoma mamma.
4.
Memasukan bahan-bahan
radioaktif
a.
Dapat digunakan Au 198 sebanyak
75-150 mc sampai dengan dosis 450 mc
b.
P32 (Cr P32O4) sebanyak 10-20n
mc.
c.
Yetrium 90.
Walaupun
berbagai penlitian tidak menunjukkan hasil yang baik akan tetapi pada metastase
carcinoma mamma menunjukkan hasil yang lebih baik daripada carcinoma paru
primer.
5.
Citostatic intra pleura.
Zat-zat yang
digunakan biasanya :
a.
Mustargen 0,4 mg per kg berat
badan digunakan dosis 20-40 mg dalam 100 cc larutan garam.
b.
Theothepa 20-50 mg intra pleura
c.
Atabrine 250 mg dalam 10 cc
aquades
d.
Fluoro uracil dan mitomycine
6.
Radiasi
Radiasi pada
tumor justru menimbulkan effusi pleura disebabkan oleh karena kerusakan aliran
limphe dari fibrosis. Akan tetapi beberapa publikasi terdapat laporan
berkurangnya cairan setelah radiasi pada tumor mediastinum..
EFUSI PLEURA
PENDAHULUAN
Pleura adalah suatu lapisan ganda jaringan
tipis yang terdiri dari : sel-sel mesotelial, jaringan ikat, pembuluh-pembuluh
darah kapiler, dan pembuluh-pembuluh getah bening. Seluruh jaringan tesebut
memisahkan paru-paru dari dinding dada dan mediastinum.
Pleura mempunyai bentuk anatomi yang
kompleks serta resiko kelainan patologi yang besar. Hal ini terlihat pada
rongga pleura yang sewaktu-waktu dapat terkena keadaan patologis yang serius
seperti efusi karena infeksi, neoplasma, hemothoraks, kilothoraks, empyema dan
adanya udara karena pneumothoraks.
PENGERTIAN
Merupakan istilah yang digunakan bagi
penimbunan cairan pada rongga pleura.
ETIOLOGI
Efusi pleura bukanlah suatu disease entity tapi merupakan gejala
penyakit, diantaranya :
-
Pleuritis karena virus dan
mikoplasma
-
Pleuritis karena bakteri
piogenik
-
Pleuritis tuberkulosa
-
Pleuritis karena jamur
-
Efusi
pleura karena kelainan intra abdominal ( cirosis hepatis, syndrom Meig,
dialisis peritoneal )
-
Efusi
pleura karena penyakit kolagen ( lupus eritematosus, artritis rheumatoid,
skleroderma ).
-
Efusi
pleura karena gangguan sirkulasi ( gangguan kardiovaskuler, emboli pulmonal,
hipoalbuminemia ).
-
Efusi
pleura karena neoplasma ( mesotelioma, karsinoma bronkhus, neoplasma
metastatik, lymfoma maligna ).
-
Efusi
pleura karena sebab lain ( trauma, uremia, miksedema, limfodema, demam familial
mediteranian, reaksi hipersensitif terhadap obat, sydrom dressler, sarkoidosis
).
PATOFISIOLOGI
Pleura terdiri
dari dua lapisan yang berbeda yakni pleura visceralis dan pleura parietalis.
Kedua lapisan pleura ini bersatu pada hilus paru. Dalam keadaan normal seharusnya
tidak ada rongga kosong antara kedua pleura tersebut, karena biasanya disana
hanya terdapat sedikit ( 10 – 20 cc ) cairan yang merupakan lapisan tipis
serosa dan selalu bergerak secara teratur. Cairan yang sedikit ini merupakan
pelumas antara kedua pleura, sehingga mereka mudah bergeser satu sama lainnya.
Dalam keadaan patologis rongga antara kedua pleura ini dapat terisi dengan
beberapa liter cairan atau udara.
Diketahui bahwa
cairan masuk kedalam rongga melalui pleura parietal dan selanjutnya keluar lagi
dalam jumlah yang sama melalui membran pleura visceralis lewat sistem limfatik
dan vaskuler. Pergerakan cairan dari pleura parietal ke pleura visceral dapat
terjadi karena adanya perbedaan tekanan hidrostatik dan tekanan koloid osmotik.
Cairan kebanyakan di absorpsi oleh sistem limfatik dan hanya sebagian kecil
yang diabsorpsi oleh sistem kapiler pulmonal. Hal yang memudahkan penyerapan
cairan pada pleura visceralis adalah terdapatnya banyak mikrofili di sekitar
sel-sel mesothelial.
Efusi pleura sebagai
komplikasi dari TB paru terjadi melalui fokus sub pleura yang robek atau
melalui aliran getah bening. Sebab lain dapat juga dari robeknya perkejuan ke
arah saluran getah bening yang menuju rongga pleura, iga, atau kolumna
vertebralis. Dapat juga secara hematogen dan menimbulkan efusi pleura
bilateral. Cairan efusi biasanya serous, kadang-kadang hemoragik. Jumlah
leukosit antara 500 – 2000 / cc. Caiaran efusi sangat sedikit mengandung kuman
tuberkulosis. Timbulnya cairan efusi bukanlah karena adanya bakteri
tuberkulosis, tapi karena reaksi hipersensitifitas terhadap tuberkulo protein.
Pada dinding pleura dapat ditemukan adanya granuloma.
TANDA DAN
GEJALA
Manifestasi
klinik efusi pleura akan tergantung dari jumlah cairan yang ada serta tingkat
kompresi paru. Jika jumlah efusinya sedikit (misalnya < 250 ml), mungkin
belum menimbulkan manifestasi klinik dan hanya dapat dideteksi dengan X-ray
foto thorakks. Dengan membesarnya efusi akan terjadi
restriksi ekspansi paru dan pasien mungkin mengalami :
-
Dispneu bervariasi
-
Nyeri pleuritik biasanya
mendahului efusi sekunder akibat penyakit pleura
-
Trakea bergeser menjauhi sisi
yang mengalami efusi
-
Ruang
interkostal menonjol (efusi yang berat)
-
Pergerakan dada berkurang dan
terhambat pada bagian yang terkena
-
Perkusi meredup di atas efusi
pleura
-
Egofoni di atas paru-paru yang
tertekan dekat efusi
-
Suara nafas berkurang di atas
efusi pleura
-
Fremitus vokal dan raba
berkurang
PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Diagnosis
kadang-kadang dapat ditegakkan secara anamnesis dan pemeriksaan fisik saja.
Tapi kadang-kadang perlu pemeriksaan tambahan seperti sinar tembus dada. Untuk
diagnosis yang pasti perlu dilakukan tindakan thorakosentesis dan pada beberapa
kasus dilakukan biopsi pleura.
PENATALAKSANAAN MEDIS
§ Thorako centesis
Jarum ditusukkan ke rongga interkostal sekitar permukaan atas dari iga
bawah. Cairan yang dialirkan tidak lebih dari 100 ml atau kurang jika pasien
menunjukkan tanda-tanda respiratori disstres.
§ Water seal drainage (WSD)
PENATALAKSANAAN
KEPERAWATAN EFUSI PLEURA
Diagnosa
keperawatan dan masalah-masalah kolaboratif
Tujuan umum
perawatan pasien dengan efusi pleura adalah untuk mempertahankan suhu tubuh
normal, mengurangi kelelahan, dan membantu pola pernafasan efektif.
1.
Hiperthermia sehubungan dengan
infeksi pleura sekunder efusi pleura.
Kriteria evaluasi : temperatur pasien normal, tidak
ada tekanan rongga pleura, cairan serosa pada rongga pleura < 20 ml.
Tindakan/intervensi
:
§ Cek ulang hasil cairan pleura (warna, grafittasi spesifik, protein,
sel leukosit, sel eritrosit, glukosa dan LDH), rontgent dada, ultra sonografi,
atau CT Scan.
§
Tinggikan
kepala dari tempat tidur untuk mempermudah pasien bernafas.
§
Berikan
dorongan kepada pasien untuk makan tinggi protein dan tinggi karbohidrat.
§
Monitor
suhu setiap 2 jam atau bila perlu untuk mengevaluasi adanya infeksi.
§ Melaksanakan pemberian infus cairan untuk mempertahankan kecukupan
cairan dan volume sirkulasi sesuai instruksi medis.
§ Memberikan antibiotik sesuai instruksi medis.
§ Memberikan antipiretik sesuai instruksi medis.
2.
Kelelahan sehubungan dengan
dispnea atau nyeri pleura
Kriteria evaluasi : pasien mampu mempertahankan
kegiatan sehari-hari tanpa lelah.
Tindakan/intervensi
:
§ Monitor/awasi ketahanan aktivitas pasien, tekanan darah dalam batas
normal, respirasi rate 12 – 20 BPM, dan heart rate > 20 BPM dari
rata-rata normal pasien.
§
Evaluasi
keadaan yang menambah rasa lelah pasien.
§ Beri waktu istirahat sebelum dan sesudah kegiatan.
§ Beri obat analgetik sebelum meningkatkan kegiatan fisik untuk
mengurangi rasa nyeri pleuritik.
§
Perintahkan
pasien untuk melaporkan perasaan lelah yang tidak biasa.
3.
Kecemasan sehubungan dengan
respiratori disstres, kelelahan, atau nyeri.
Kriteria evaluasi : secara
verbal pasien mengungkapkan hilangnya rasa cemas dan memperlihatkan posisi
rileks.
Tindakan/intervensi
:
§ Motivasi pasien untuk mengenali rasa cemas dan kapan terjadinya.
§
Evaluasi
perilaku koping pasien dan keluarga serta cara mengtasi secara efektif pada
penyakitnya sekarang.
§ Monitor respon perilaku pasien terhdap masuknya selang dada.
§ Ajarkan strategi untuk mengurangi kecemasan: meditasi, dan relaksasi
progresif.
§ Ajarkan pasien tentang tujuan prosedur infasif dan dorong pasien
mengikuti prosedur.
4.
Pola
pernafasan tidak efektif sehubungan dengan penurunan ekspansi paru sekunder
karena peningkatan cairan pleura.
Kriteria evaluasi : pasien
mempertahankan pola pernafasan efektif, ditandai dengan RR < 30 BPM,
HR < 100 BPM, tidak ada tachipnea atau dispnea, gerak dada simetris,
tidak ada nyeri dada, selang dada dan aliran stabil, ekspansi paru penuh dan
tidak ada suara nafas yang adventisius.
Tindakan/intervensi
:
§ Cek ulang hasil gas darah arteri dan rontgen dada.
§
Batasi
aktifitas fisik, tidur bed rest selama pasien mengalami nyeri dada.
§
Laporkan
penemuan klinik yang menunjukkan pola pernafasan tidak efektif sekunder karena
penmpukan cairan di rongga pleura: nafas pendek, dispnea, sianosis, distensi
vena jugularis, pengurangan atau tidak adanya suara nafas, pleural friktion
rub, kenaikan suhu, dan batuk.
§
Anjurkan
pasien menggunakan spirometri insentif untuk membantu ekspansi paeru dan
mencegah atelektasis.
§ Sangga dada pasien saat batuk untuk mengurangi nyeri
§ Berikan infus cairan intra vena untuk mempertahankan kecukupan
cairan sesuai intruksi medis
§ Berikan oksigen 2 – 4 liter / menit melalui nasal kateter atau
masker untuk mempertahankan tekanan oksigen arteri partial ( PaO2 ) >70
mm Hg sesuai intruksi medis.
§
Berikan
antibiotik jika terjadi infeksi sesuai intruksi medis
§
Berikan
antipiretik jika pasien demam sesuai intruksi medis
§
Ajarkan
pasien batuk dan nafas dalam setiap 2 – 4 jam
§ Minta pasien untuk menujukkan
latihan renge of motion pada seluruh ekstremitas setiap 2 – 4 jam
Perencanaan pulang
Perawat harus memberitahu pasien tentang
hal-hal yang penting secara verbal / tertulis sebagai berikut :
1.
Tanda dan gejala yang perlu
diperhatikan : kesulitan bernafas, nyeri dada, peningkatan suhu, atau batuk
menetap.
2.
Dosis
pengobatan, jadwal, petunjuk dan efek samping pengobatan
3.
Perlunya
mentaati seluruh anjuran setelah keluar dari Rumah Sakit.
DAFTAR PUSTAKA :
Price, Sylvia A. & Loraine M. Wilson,
Patofisiologi : Konsep Klinis Proses Penyakit, Edisi IV Buku II, Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta , 1995.
Robins & Kumar, Buku Ajar Patologi II,
Terjemahan : Staf Pengajar Lab. Patologi Anatomik FK Unair, Edisi IV, Penerbit
Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 1995.
Waspadji, Sarwono et. all, Bunga Rampai
Ilmu Penyakit Dalam, Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UI, Jakarta, 1995.
Majalah Kesehatan Masyarakat Indonesia,
Tahun XXIV, Nomor 11, 1996
Soeparman, Ilmu
Penyakit Dalam Jilid II, ed. 2 Jakarta ;
Balai penerbit
FKUI ( 1993 )
Donna, D. Ignativicus, Marylin VB. Medical
Surgical Nursing.
WB.
Sanders Company ( 1991 )
Donges, Marylyn
E, et all. Nursing Care Plans, Philadelphia ( 1992 )
FA.
Davis Company
Hudak &
Gallo. Keperawatan Kritis ( terjemahan ).Jakarta ( 1997 )
EGC
Bagian Patologi Anatomik FKUI, Jakarta ( 1992
Tidak ada komentar:
Posting Komentar