Minggu, 05 Agustus 2012

ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN EPILEPSI

ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN EPILEPSI APLIKASI NANDA, NOC, NIC

A.    Pengertian
            Epilepsi ialah gangguan kronik otak dengan ciri timbulnya gejala-gejala yang datang dalam serangan-serangan, berulang-ulang yang disebabkan lepas muatan listrik abnormal sel-sel saraf otak, yang bersifat resersibel dengan berbagai etiologi. Serangan ialah suatu gejala yang timbulnya tiba-tiba dan menghilang secara tiba-tiba pula. (Kapita Selekta Kedokteran, 2002)
            Epilepsi adalah gejala komplek dari banyak gangguan fungsi otak berat yang dikarakteristikkan oleh kejang berulang keadaan ini dapat dihubungkan dengan kehilangan kesadaran, gerakan berlebihan atau hilangnya tonus otot atau gerakan dan gangguan berlaku, alam perasaan, sensasi, persepsi. Sehingga epilepsy bukan penyakit tapi suatu gejala. (Brunner dan Suddarth`s, 2001)
            Status epileptikus adalah aktivitas kejang yang berlangsung terus menerus lebih dari 30 menit tanpa pulihnya kesadaran. Dalam praktek klinis lebih baik mendefinisikannya sebagai setiap aktivitas serangan kejang yang menetap selama lebih  dari 10 menit. Status mengancam adalah serangan kedua yang terjadi dalam waktu 30 menit tanpa pulihnya kesadaran di antarserangan.
B.     Etiologi
1)      Idiopatik; sebagian besar epilepsy pada anak adalah epilepsi idiopatik
2)      Faktor herediter; adalah beberapa penyakit yang bersifat herediter yang disertai bangkitan kejang seperti sklerotis tuberosa, neurofibromatosis, angiomatosis ensefalotrigeminal. Fenilketonuria, hipoparatiroidisme, hipoglikimia.
3)      Faktor genetic; pada kejang deman dan breath holding spells
4)      Kelainan congenital otak; atrofi, porensefasi, agenesis, korpus kalosum
5)      Gangguan metabolic; hipoglikimia, hipokalsemia, hiponatremia, hipernatremia
6)      Infeksi; radang yang disebabkan bakteri atau virus pada otak dan selaputnya toksolakmosis
7)      Trauma; kontosio serebri, hematoma subraknoid, hematema subdural
8)      Neoplasma otakadan selaputnya
9)      Kelainan pembuluh darah, malformasi, penyakit kolagen
10)  Keracunan; timbal(Pb), kamper (kapur barus), fenotiazin, air
11)  Lain-lain; penyakit darah , gangguan keseimbangan hormon, degenerasi serebral, dan lain-lain 
C.    Faktor Presipitasi
      Factor presipitasi ialah factor yang mempermudah terjadinya serangan, yaitu:
1)      Faktor sensoris: cahaya yang berkedip-kedip, bunyi-bunyi yang mengejutkan air panas
2)      Faktor sintemis: demam, penyakit infeksi, otot-otot tertentu misalnya golongan fenotiazin, klorpropamid, hipoglikimia, kelelehan fisik
3)      factor mental: stress, gangguan emosi
D.    Patofisiologi
                  Secara umun epilepsy terjadi karena menurunnya potensial membran sel saraf akibat proses patologik dalam otak, gaya mekanik atau toksis, yang selanjutnya menyebabkan terlepasnya muatan listrik dari sel saraf tersebut
Beberapa penyelidikan menunjukkan peranan asetilkolin sebagai zat yang merendahkan potensi membran postsinaptik dalam hal terlepasnya muatan listrik yang terjadi sewaktu-waktu saja sehingga menifestasi klinisnya pun muncul sewaktu-waktu. Bila asetilkolin sudah cukup tertimbun dipermukaan otak, maka pelepasan muatan listrik sel-sel saraf kortikal dipermudah. Asetilkolin diproduksi oleh sel-sel saraf kolinergik dan merembes keluar dari permukaan otak. Pada kesadaran awas-waspada lebih banyak asetilkolin yang merembes keluar dari permukaan otak dari pada selama tidur. Pada jejas otak lebih banyak asetilkolin daripada dalam otak sehat. Pada tumor serebri atau adanya sikatrits setempat pada permukaan otak sebagai gejala sisa dari meningitis, ensefalitis, kontusio, serebri atau trauma lahir, dapat terjadi penimbunan setempat dari asetilkolin. Oleh karena itu pada tempat itu akan terjadi lepas muatan listrik sal-sal saraf. Penimbunan asetilkolin setempat harus mencapai konsentrasi tertentu untuk daspat merendahkan potensi membran sehingga lepas muatan listrik dapat terjadi. Hal ini merupakan mekanis epilepsy fokal yang biasanya simptomatik.
Pada epilepsy idiomatic, tipe grand mal, secara primer muatan listrik dilepaskan oleh Nuklei intralaminares talami, yang dikenal juga sebagai inti centrecephalic. Inti ini merupakan terminal dari lintasan asendens aspesifik atau lintasan esendens ekstralemsnikal. Input dari korteks serebri melalui lintasan aferen aspesifik itu menentukan derajad kesadaran. Bilamana sama sekali tidak ada input maka timbullah koma. Pada grandmal, oleh Karena sebab yang belum dapat dipastikan, terjadilah lepas muatan listrik dari inti-inti intralaminar talamik secara berlebih. Perangsangan talamokortikal yang berlebih menghasilkan kejang seluruh tubuh dan sekaligus menghalangi sel-sel saraf yang memelihara kesadaran menerima impuls aferen dari dunia luar sehingga kesadaran hilang.
Hasil penelitian menujukkan bahwa bagian dari substansia retikularis di bagian rostral dari mesensefalon yng dapat melakukan blokade sejenak terhadap inti-inti intralaminar talamik sehingga kesadaran hilang sejenak tanpa disertai kejang-kajang pada otot skeletal, yang dikenal sebagai petit mal 
E.     Manifestasi Klinis
                  Menurut Commusion of Classification andf Terminologi of the International League against Epilepsi (ILAE) tahun 1981, klasifikasi epilepsy sebagai berikut:
1.      Sawan parsial (fokal,local)
a.                   Sawan parsial sederhana: sawan parsial dengan tetap kesadaran normal
1)      Dengan gejala motorik
a)      Fokal motorik tidak menjalar: sawan terbatas pada satu bagian tubuh saja
b)      Fokal motorik menjalar: sawan dimulai dari satu bagian tubuh dan menjalar meluas kebagian lain. Disebut juga epilepsi Jacksen
c)      Versif: sawan disertai gerakan memutar kapala, mata, tubuh
d)     Postural sawan disertaidengan lengat atau tungkai kaku dalam sikap tertentu
e)      Disertai gangguan fonasi: sawan disertai arus bicara yang terhenti atau pasien mengeluarkan bunyi-bunyi tertentu
2)      Dengan gejala somatosensoris atau sensoris spesial: sawan disertai halusinasi sederhana yang mengenai kalima panca indra dan bangkitan yang disertai vertigo
a)      somatosensorik: timbul rasa kesemutan atau seperti ditusuk-tusuk jarum
b)      visual: terlihat cahaya
c)      auditoris: terdengar sesuatu
d)     olfaktoris: terhidu sesuatu
e)      gustatoris: terkecap sesuatu
f)       disertai vertigo
3)      Dengan gejala atau tanda gangguan saraf otonom (sensasi epigastrium, pucat, berkeringat, membera, piloereksi, dilatasi pupil)
4)      Debgab gejala psikis (gangguan fungsi luhur)
a)      disfasia: ganguan bicara misalnya mengulang suatu suku kata, kata atau bagian kalimat
b)      dismnesia: gangguan proses ingatan misalnya merasa seperti sudah mengalami, mendengar, melihat,atau sebaliknya tidak pernah mnegalami,mendangar, melihat, mengetahui sesuatu. Mungkin mendadak mengingat suatu peristiwa dimasa lalu, merasa seperti melihat lagi.
c)      Kognitif: gangguan orientasi waktu, merasa diri berubah.
d)     Afektif: merasa sangat senang, susah, marah, takut.
e)      Ilusi: perubahan persepsi benda yang dilihat tampak lebih kecil atau lebih besar
f)       Halusinasi kompleks (berstruktur): mendengar ada yang bicara, musik melihat sesuatu fenomena tertentu dan lain-lain
b.      Sawan parsial komplek
1.      Serangan parsial sederhana diikuti gangguan kesadaran: kesadaran mula-mula baik kemudian baru menurun.
a.       Dengan gejala parsial sederhana A1-A4; gejala-gejala seperti golongan A1-A4 diikuti dengan menurunnya kesadaran.
b.      Dengan automatisme. Automatisme yaitu gerakan-geraka, perilaku yang timbul dengan sendirinya, misalnya gerakan mengunyah-ngunyah, menelan-nelan, wajah muka berubah seringkali seperti ketakutan, menata-nata sesuatu, memegang-megang kancing baju, berjlan, mengembara tak menentu, berbicara dan lain-lain.
2.      Dengan penuruna kesadaran sejak serangan: kesadaran menurun sejak permulaan serangan.
a.       Hanya dengan penurunan kesadaran.
b.      Dengan automatisme.
c.       Sawan parsial yang berkembang menjadi bangkitan umum (tonik-klonik, tonik, klonik)
1.      Sawan parsial sederhana yang berkembang menjadi bangkitan umum.
2.      Sawan parsial kompleks yang berkembang menjdi bangkitan umum.
3.      Sawan parsial sederhana yang menjadi bangkitan parsial komplek selalu berkembang menjadi bangkitan umum.
2.      Sawan umum (konfulsif atau non konfulsif)
a.       Sawan Lena (Absance)
            Pada sawan ini, kegiatan yang sedang dikerjakan terhenti, muka tampak menbengong, bola mata dapat memutar ke atas, tak ada reaksi bila diajak bicara. Biasanya sawan ini berlangsung selama ¼ - ½ menit dan biasanya dijumpai pada anak.
1)      Hanya penurunan kesadaran.
2)      Dengan komponen klonik ringan. Gerakan klonis ringan biasanya dijumpai pada kelopak mata atas, sudut mulut, atau otot-otot  lainnya bilateral.
3)      Dengan komponen atonik. Pada sawan ini, dijumpai otot-otot leher, lengan tangan, tubuh mendadak melemas sehingga tampak lunglai.
4)      Dengan komponen tonik. Pada sawan ini, dijumpai otot-otot ekstrenitas, leher atau punggung mendadak mengejang, kepala, badan menjadi melengkung ke belakang, lengan dapat mengentul atau mengendang.
5)      Dengan automatisme.
6)      Dengan komponen autonom.
2 hingga 6 dapat tersendiri atau kombinasi
Lena tak khas (atypical absence)
Dapat disertai:
1)      Gangguan tonus yang lebih jelas.
2)      Permulaan dan berakhirnya bangkitan tidak mendadak.
b.      Sawan Mioklonik
            Pada sawan mioklonik terjadi kontraksi mendadak, sebentar, dapat kuat atau lemah sebagian otot atau semua otot, sekali atau berulang-ulang. Bangkitan ini dapat dijumpai pada semua umur.
c.       Sawan klonik
            Pada sawan ini  tidak ada komponen tonik, hanya terjadi kejang kelonjot. Dijumpai tertutama sekali pada anak.
d.      Sawan tonik
            Pada sawan ini tidak ada komponen klonik, otot-otot hanya menjadi kaku, juga terdapat pada anak.
e.       Sawan tonik-klonik
            Sawan ini sering dijumpai pada umur diatas balita yang terkenala dengan nama grandmal. Serangan dapat diawali dengan aura yaitu tanda-tanda yang mendahului suatu sawan. Pasien mendadak jatuh pingsan, otot-otot seluruh badan kaku. Kejang kaku berlangsung kira-kira ¼ - ½ menit diikuti kejang otot-otot seluruh badang. Bangkitan ini biasanya berhenti sendiri. Tarikan nafas menjadi dlam beberapa saat lamanya. Bila pembentukan ludah ketika kejang meningkat, mulut menjadi berbusa karena hembusan nafas. Mungkin pula pasien kencing ketika mendapat serangan. Setelah kejang berhenti pasien tidur beberapa lamanya, dapat pula bangun dengan kesadaran yang masih rendah atau langsung menjadi sadar dengan keluhan badan pegal-pegal, lelah, nyeri kepala.
f.       Sawan atonik
            Pada keadaan  ini otot-otot seluruh badan melemas sehingga pasien terjatuh. Kesadaran dapat tetap baik atau menurun sebentar. Sawan ini terutama sekali dijumpai pada anak.
3.      Sawan tak tergolongkan
Termasuk golongan ini ialah bangkitan pada bayi berupa gerakan bola mata yang ritmik, mengunyah-ngunyah, gerakan seperti berenang, menggigil atau pernafasan yang mendadak berhenti sementara.
F.     Pemeriksaan Penunjang
            Elektroensefalografi (EEG) merupakan pemeriksaan penunjang yang informative yang dapat memastikan diagnosis epilepsi bila ditemukan pola EEG yang bersifat khas epileptik baik terekam saat serangan maupun di luar serangan berupa gelombang runcing, gelombang paku, runcing lambat, paku lambat.
            Pemeriksaan tambahan lain yang juga bermanfaat adalah pemeriksaan foto polos kepala, yang berguna untuk mendeteksinya adanya fraktur tulang tengkorak; CT-Scan, yang berguna untuk mendeteksi adanya infark, hematom, tumor, hidrosefalus, sedangkan pemeriksaan laboratorium dilakukan atas indikasi untuk memastikan adanya kelaianan sistemik seperti hipoglikemia, hiponatremia, uremia dan lain-lain.
G.    Diagnosis Banding
            Sinkop, gangguan jantung, gangguna sepintas peredaran darah otak, hipoglikemia, keracunan, breath holding spells, hysteria, narkolepsi, pavor nokturnus, paralysis tidur, migren.
H.    Penatalaksanaan
            Tujuan pengobatan adalah mencegah timbulnya sawan tanpa mengganggu kapasitas dan intelek pasien. Pengobatan epilepsi meliputi pengobatan medikamentosa fan pengobatan psikososial.
1)      Pengobatan medikamentosa
Pada epilepsi yang simtomatis di mana sawan yang timbul adalah manifestasi penyebabnya seperti tumor otak, radang otak, gangguan metabolic, mka di samping pemberian obat anti-epilepsi diperlukan pula terapi kausal. Beberapa prinsip dasar yang perlu dipertimbangkan:
a)      Pada sawan yang sangat jarang dan dapat dihilangkan factor pencetusnya, pemberian obat harus dipertimbangkan.
b)      Pengobatan diberikan setelah diagnosis ditegakkan; ini berarti pasien mengalami lebih dari dua kali sawan yang sama.
c)      Obat yang diberikan sisesuaikan dengan jenis sawan.
d)     Sebaiknya menggunakan monoterapi karena dengan cara ini toksisitas akan berkurang, mempermudah pemantauan, dan menghindari interaksi obat.
e)      Dosis obat disesuaikan secara individual.
f)          Evaluasi hasilnya.
Bila gagal dalam pengobatan, cari penyebabnya:
-          Salah etiologi: kelaianan metabolisme, neoplasma yang tidak terdeteksi, adanya penyakit degenerates susunan saraf pusat.
-          Pemberian obat antiepilepsi yang tepat.
-          Kurang penerangan: menelan obat tidak teratur.
-          Faktor emosional sebagai pencetus.
-          Termasuk intractable epilepsi.
g)      Pengobatan dihentikan setelah sawan hilang selama minimal 2 – 3 tahun. Pengobatan dihentikan secara berangsur dengan menurunkan dosisnya.
2)      Pengobatan Psikososial.
            Pasien diberikan penerangan bahwa dengan pengobatan yang optimal sebagian besar akan terbebas dari sawan. Pasien harus patuh dalam menjalani pengobatannya sehingga dapat bebas dari sawan dan dapat belajar, bekerja dan bermasyarkat secara normal.
3)      Penatalaksanaan status epileptikus
a)       Lima menit pertama
Ø  Pastikan diagnosis dengan observasi aktivitas serangan atau satu serangan berikutnya.
Ø  Beri oksigen lewat kanul nasal atau masker, atur posisi kepala dan jalan nafas, intubasi bila perlu bantuan bentilasi.
Ø  Tanda-tanda vital dan EKG, koreksi bila ada kelaianan.
Ø  Pasang jalur intravena dengan NaC10,9%, periksa gula darah, kimia darah, hematology dan kadar OAE (bila ada fasilitas dan biaya).
b)      Menit ke-6 hingga ke-9
Jika hipoglikemia/gula darah tidak diperiksa, berikan 50 ml glukosa 50% bolas intravena (pada anak: 2 ml/kgBB/glukosa 25%) disertai 100 mg tiamin intravena.
c)      Menit ke-10 hingga ke-20
Pada dewasa: berikan 0,2 mg/kgBB diazepam dengan kecepatan 5 mg/menit sampai maksimum 20 mg. Jika serangan masih ada setelah 5 menit, dapat diulangi lagi. Diazepam harus diikuti dengan dosis rumat fenitoin.
d)     Menit ke 20 hingga ke-60
Berikan fenitoin 20 mg/kgBB dengan kecepatan <50 mg/menit pada dewasa dan 1 mg/kbBB/menit pada anak; monitor EKG dan tekanan darah selama pemberian.
e)      Menit setelah 60 menit
Jika status masih berlanjut setelah fenitoin 20 mg/kg maka berikan fenitoin tambahan 5 mg/kg sampai maksimum 30 mg/kg. Jika status menetap, berikan 20 mg/kg fenobarbital intravena dengan kecepatan 60 mg/menit. Bila apne, berikan bantuan ventilasi (intubasi). Jika status menetap, anestasia umum dengan pentobarbiatal, midazolam atau propofal.
4)      Perawatan pasien yang mengalami kejang :
a)      Berikan privasi dan perlindungan pada pasien dari penonton yang ingin tahu (pasien yang mempunyai aura/penanda ancaman kejang memerlukan waktu untuk mengamankan, mencari  tempat yang aman dan pribadi
b)      Pasien dilantai jika memungkinkan lindungi kepala dengan bantalan untuk mencegah cidera dari membentur permukaan yang keras.
c)      Lepaskan pakaian yang ketat
d)     Singkirkan semua perabot yang dapat menciderai pasien selama kejang.
e)      Jika pasien ditempat tidur singkirkan bantal dan tinggikan pagar tempat tidur.
f)       Jika aura mendahului kejang, masukkan spatel lidah yang diberi bantalan diantara gigi, untuk mengurangi lidah atau pipi tergigit.
g)      Jangan berusaha membuka rahang yang terkatup pada keadaan spasme untuk memasukkan sesuatu, gigi yang patah cidera pada bibir dan lidah dapat terjadi karena tindakan ini.
h)      Tidak ada upaya dibuat untuk merestrein pasien selama kejang karena kontraksi otot kuat dan restrenin dapat menimbulkan cidera
i)        Jika mungkin tempatkan pasien miring pada salah satu sisi dengan kepala fleksi kedepan yang memungkinkan lidah jatuh dan memudahkan pengeluaran salifa dan mucus. Jika disediakan pengisap gunakan jika perlu untuk membersihkan secret
j)        Setelah kejang: pertahankan pasien pada salah satu sisi untuk mencegah aspirasi, yakinkan bahwa jalan nafas paten. Biasanya terdapat periode ekonfusi setelah kejang grand mal. Periode apnoe pendek dapat terjadi selama atau secara tiba-tiba setelah kejang. Pasien pada saat bangun harus diorientasikan terhadap lingkungan   
I.       Prognosis
            Pasien epilepsi yang berobat teratur, 1/3 akan terbebas serangan paling sedikit 2 tahun dan bila lebih dari 5 tahun sesudah serangan terakhir obat dihentikan, pasien tidak mengalami sawan lagi, dikatkan telah menglami remisi. Diperkirakan 30 % pasien tidak akan menglami remisi meskipun minum obat teratur.
            Sesudah remisi, kemungkinan munculnya serangan ulang paling sering didapat pada sawan tonik-klonik dan sawan paarsial kompleks. Demikian pula usia muda lebih mudah menglami relaps sesudah remisi.
J.      Asuhan Keperawatan
1        Pengkajian
Data fokus yang perlu dikaji
a.       Riwayat Kesehatan
1)      Keluhan utama: keluhan yang dirasakan pasien saat dilakukan pengkajian
2)      Riwayat kesehatan sekarang: Riwayat penyakit yang diderita pasien saat masuk RS (apa yang terjadi selama serangan )
3)      Riwayat kesehatan yang lalu: sejak kapan serangan seperti ini terjadi, pada usia berapa serangan pertama terjadi, frekuensi serangan, adakah faktor presipitasi seperti demam, kurang tidur emosi, riwayat sakit kepala berat, pernah menderita cidera otak, operasi atau makan obat-obat tertentu/alkoholik)
4)      Riwayat kesehatan keluarga: adakah riwayat penyakit yang sama diderita oleh anggota keluarga yang lain atau riwayat penyakit lain baik bersifat genetik maupun tidak
5)      Riwayat sebelum serangan: adakah gangguan tingkah laku, emosi apakah disertai aktifitas atonomik yaitu berkeringat, jantung berdebar, adakah aura yang mendahului serangan baik sensori, auditorik, olfaktorik
b.      Pemeriksaan Fisik
1)      Keadaan umum
2)      Pemeriksaan Persistem
a)      Sistem Persepsi dan Sensori
 Apakah pasien menggigit lidah, mulut berbuih, sakit kepala, otot-otot sakit, adakah halusinasi dan ilusi, yang disertai vertigo, bibir dan muka berubah warna, mata dan kepala menyimpang pada satu posisi, berapa lama gerakan tersebut, apakah lokasi atau sifatnya berubah pada satu posisi/keduanya
b)      Sistem Persyarafan
Ø    Selama serangan: Penurunan kesadaran/pingsan? Kehilangan kesadaran / lena? Disertai komponen motorik seperti kejang tonik,            klonik, mioklonik, atonik, berapa lama gerakan tersebut? Apakah pasien jatuh kelantai
Ø   Proses Serangan: Apakah pasien letarsi, bingung, sakit kepala, gangguan bicara, hemiplegi sementara, ingatkah pasien apa yang terjadi sebelum selama dan sesudah serangan, adakah perubahan tingkat kesadaran, evaluasi kemungkinan terjadi cidera selama kejang (memer, luka gores)
c)      Sistem Pernafasan: apakah terjadi perubahan pernafasan (nafas yang dalam)
d)      Sistem Kardiovaskuler: apakah terjadi perubahan denyut jantung
e)       Sistem Gastrointestinal: apakah terjadi inkontinensia feses, nausea
f)        Sistem Integumen: adakah memar, luka gores
g)       Sistem Reproduksi
h)       Sistem Perkemihan: adakah inkontinensia urin
c.       Pola Fungsi Kesehatan
1)      Pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan
Pemahaman pasien dan keluarga mengenai program pengobatan pasien, keamanan lingkungan sekitar
2)      Pola Aktivitas dan Latihan
Pemahaman klien tentang aktivitas yang aman untuk pasien (minimal resiko cidera pada saat serangan)
3)      Pola Nutrisi Metabolisme
Pasca serangan biasanya pasien mengalami nansea
4)      Pola Eliminasi
Saat serangan dapat terjadi inkontinensia urin dan atau feses
5)      Pola Tidur dan Istirahat
Salah satu faktor presipitasi adalah kurangnya istirahat/tidur
6)      Pola kognitif dan Perseptual
Adakah gangguan orientasi, pasien merasa dirinya berubah
7)      Persepsi diri atau konsep diri
Pentingnya pemahaman dengan berobat teratur dapat terbebas dari sawan
8)      Pola toleransi dan koping stress
Adakah stress dan gangguan emosi
9)      Pola sexual reproduksi
10)  Pola hubungan dan peran
11)  Pola nilai dan kenyakinan
2        Diagnosa keperawatan yang sering muncul pada klien dengan epilepsy antara lain :
1)      Resiko aspirasi berhubungan dengan penurunan tingkat kesadaran sekunder terhadap kejang
2)      Resiko trauma pada saat serangan berhubungan dengan penurunan tingkat kesadaran dan kejang tonik-klonik
3)      Koping defensif berhubungan dengan respon terhadap hal-hal sekunder terhada epilepsy
4)      Defisit pengetahuan tentang penyakit, pengobatan dan perawatan pasien berhubungan dengan keterbatasan kognitif, kurang paparan atau mudah lupa
5)      Potensial komplikasi : kejang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar