ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN EPILEPSI APLIKASI NANDA, NOC, NIC
A. Pengertian
Epilepsi
ialah gangguan kronik otak dengan ciri timbulnya gejala-gejala yang datang
dalam serangan-serangan, berulang-ulang yang disebabkan lepas muatan listrik
abnormal sel-sel saraf otak, yang bersifat resersibel dengan berbagai etiologi.
Serangan ialah suatu gejala yang timbulnya tiba-tiba dan menghilang secara
tiba-tiba pula. (Kapita Selekta Kedokteran, 2002)
Epilepsi adalah gejala komplek dari banyak gangguan
fungsi otak berat yang dikarakteristikkan oleh kejang berulang keadaan ini
dapat dihubungkan dengan kehilangan kesadaran, gerakan berlebihan atau
hilangnya tonus otot atau gerakan dan gangguan berlaku, alam perasaan, sensasi,
persepsi. Sehingga epilepsy bukan penyakit tapi suatu gejala. (Brunner dan
Suddarth`s, 2001)
Status epileptikus adalah aktivitas
kejang yang berlangsung terus menerus lebih dari 30 menit tanpa pulihnya
kesadaran. Dalam praktek klinis lebih baik mendefinisikannya sebagai setiap
aktivitas serangan kejang yang menetap selama lebih dari 10 menit. Status mengancam adalah
serangan kedua yang terjadi dalam waktu 30 menit tanpa pulihnya kesadaran di
antarserangan.
B. Etiologi
1) Idiopatik; sebagian besar epilepsy pada anak adalah
epilepsi idiopatik
2) Faktor herediter; adalah beberapa penyakit yang
bersifat herediter yang disertai bangkitan kejang seperti sklerotis tuberosa,
neurofibromatosis, angiomatosis ensefalotrigeminal. Fenilketonuria,
hipoparatiroidisme, hipoglikimia.
3) Faktor genetic; pada kejang deman dan breath
holding spells
4) Kelainan congenital otak; atrofi, porensefasi,
agenesis, korpus kalosum
5) Gangguan metabolic; hipoglikimia, hipokalsemia,
hiponatremia, hipernatremia
6) Infeksi; radang yang disebabkan bakteri atau virus
pada otak dan selaputnya toksolakmosis
7) Trauma; kontosio serebri, hematoma subraknoid,
hematema subdural
8) Neoplasma otakadan selaputnya
9) Kelainan pembuluh darah, malformasi, penyakit kolagen
10) Keracunan; timbal(Pb), kamper (kapur barus),
fenotiazin, air
11) Lain-lain; penyakit darah , gangguan keseimbangan
hormon, degenerasi serebral, dan lain-lain
C. Faktor
Presipitasi
Factor presipitasi ialah factor yang
mempermudah terjadinya serangan, yaitu:
1) Faktor sensoris: cahaya yang berkedip-kedip,
bunyi-bunyi yang mengejutkan air panas
2) Faktor sintemis: demam, penyakit infeksi, otot-otot
tertentu misalnya golongan fenotiazin, klorpropamid, hipoglikimia, kelelehan
fisik
3) factor mental: stress, gangguan emosi
D. Patofisiologi
Secara umun epilepsy terjadi karena menurunnya
potensial membran sel saraf akibat proses patologik dalam otak, gaya mekanik
atau toksis, yang selanjutnya menyebabkan terlepasnya muatan listrik dari sel
saraf tersebut
Beberapa penyelidikan menunjukkan peranan
asetilkolin sebagai zat yang merendahkan potensi membran postsinaptik dalam hal
terlepasnya muatan listrik yang terjadi sewaktu-waktu saja sehingga menifestasi
klinisnya pun muncul sewaktu-waktu. Bila asetilkolin sudah cukup tertimbun
dipermukaan otak, maka pelepasan muatan listrik sel-sel saraf kortikal
dipermudah. Asetilkolin diproduksi oleh sel-sel saraf kolinergik dan merembes
keluar dari permukaan otak. Pada kesadaran awas-waspada lebih banyak
asetilkolin yang merembes keluar dari permukaan otak dari pada selama tidur.
Pada jejas otak lebih banyak asetilkolin daripada dalam otak sehat. Pada tumor
serebri atau adanya sikatrits setempat pada permukaan otak sebagai gejala sisa
dari meningitis, ensefalitis, kontusio, serebri atau trauma lahir, dapat
terjadi penimbunan setempat dari asetilkolin. Oleh karena itu pada tempat itu
akan terjadi lepas muatan listrik sal-sal saraf. Penimbunan asetilkolin
setempat harus mencapai konsentrasi tertentu untuk daspat merendahkan potensi
membran sehingga lepas muatan listrik dapat terjadi. Hal ini merupakan mekanis
epilepsy fokal yang biasanya simptomatik.
Pada epilepsy idiomatic, tipe grand mal, secara
primer muatan listrik dilepaskan oleh Nuklei intralaminares talami, yang
dikenal juga sebagai inti centrecephalic. Inti ini merupakan terminal
dari lintasan asendens aspesifik atau lintasan esendens ekstralemsnikal. Input
dari korteks serebri melalui lintasan aferen aspesifik itu menentukan derajad
kesadaran. Bilamana sama sekali tidak ada input maka timbullah koma. Pada
grandmal, oleh Karena sebab yang belum dapat dipastikan, terjadilah lepas
muatan listrik dari inti-inti intralaminar talamik secara berlebih.
Perangsangan talamokortikal yang berlebih menghasilkan kejang seluruh tubuh dan
sekaligus menghalangi sel-sel saraf yang memelihara kesadaran menerima impuls
aferen dari dunia luar sehingga kesadaran hilang.
Hasil penelitian menujukkan bahwa bagian dari
substansia retikularis di bagian rostral dari mesensefalon yng dapat melakukan
blokade sejenak terhadap inti-inti intralaminar talamik sehingga kesadaran
hilang sejenak tanpa disertai kejang-kajang pada otot skeletal, yang dikenal
sebagai petit mal
E. Manifestasi
Klinis
Menurut Commusion of
Classification andf Terminologi of the International League against Epilepsi (ILAE)
tahun 1981, klasifikasi epilepsy sebagai berikut:
1.
Sawan parsial (fokal,local)
a.
Sawan parsial sederhana: sawan parsial dengan tetap
kesadaran normal
1)
Dengan gejala motorik
a)
Fokal motorik tidak menjalar: sawan terbatas pada satu
bagian tubuh saja
b)
Fokal motorik menjalar: sawan dimulai dari satu bagian
tubuh dan menjalar meluas kebagian lain. Disebut juga epilepsi Jacksen
c)
Versif: sawan disertai gerakan memutar kapala, mata,
tubuh
d)
Postural sawan disertaidengan lengat atau tungkai kaku
dalam sikap tertentu
e)
Disertai gangguan fonasi: sawan disertai arus bicara
yang terhenti atau pasien mengeluarkan bunyi-bunyi tertentu
2)
Dengan gejala somatosensoris atau sensoris spesial:
sawan disertai halusinasi sederhana yang mengenai kalima panca indra dan
bangkitan yang disertai vertigo
a)
somatosensorik: timbul rasa kesemutan atau seperti
ditusuk-tusuk jarum
b)
visual: terlihat cahaya
c)
auditoris: terdengar sesuatu
d)
olfaktoris: terhidu sesuatu
e)
gustatoris: terkecap sesuatu
f)
disertai vertigo
3)
Dengan gejala atau tanda gangguan saraf otonom (sensasi
epigastrium, pucat, berkeringat, membera, piloereksi, dilatasi pupil)
4)
Debgab gejala psikis (gangguan fungsi luhur)
a)
disfasia: ganguan bicara misalnya mengulang suatu suku
kata, kata atau bagian kalimat
b)
dismnesia: gangguan proses ingatan misalnya merasa
seperti sudah mengalami, mendengar, melihat,atau sebaliknya tidak pernah
mnegalami,mendangar, melihat, mengetahui sesuatu. Mungkin mendadak mengingat
suatu peristiwa dimasa lalu, merasa seperti melihat lagi.
c)
Kognitif: gangguan orientasi waktu, merasa diri
berubah.
d)
Afektif: merasa sangat senang, susah, marah, takut.
e)
Ilusi: perubahan persepsi benda yang dilihat tampak lebih
kecil atau lebih besar
f)
Halusinasi kompleks (berstruktur): mendengar ada yang
bicara, musik melihat sesuatu fenomena tertentu dan lain-lain
b.
Sawan parsial komplek
1.
Serangan parsial sederhana diikuti gangguan kesadaran:
kesadaran mula-mula baik kemudian baru menurun.
a.
Dengan gejala parsial sederhana A1-A4; gejala-gejala
seperti golongan A1-A4 diikuti dengan menurunnya kesadaran.
b.
Dengan automatisme. Automatisme yaitu gerakan-geraka,
perilaku yang timbul dengan sendirinya, misalnya gerakan mengunyah-ngunyah,
menelan-nelan, wajah muka berubah seringkali seperti ketakutan, menata-nata
sesuatu, memegang-megang kancing baju, berjlan, mengembara tak menentu,
berbicara dan lain-lain.
2.
Dengan penuruna kesadaran sejak serangan: kesadaran
menurun sejak permulaan serangan.
a.
Hanya dengan penurunan kesadaran.
b.
Dengan automatisme.
c.
Sawan parsial yang berkembang menjadi bangkitan umum
(tonik-klonik, tonik, klonik)
1.
Sawan parsial sederhana yang berkembang menjadi
bangkitan umum.
2.
Sawan parsial kompleks yang berkembang menjdi bangkitan
umum.
3.
Sawan parsial sederhana yang menjadi bangkitan parsial
komplek selalu berkembang menjadi bangkitan umum.
2.
Sawan umum (konfulsif atau non konfulsif)
a.
Sawan Lena (Absance)
Pada sawan ini, kegiatan
yang sedang dikerjakan terhenti, muka tampak menbengong, bola mata dapat
memutar ke atas, tak ada reaksi bila diajak bicara. Biasanya sawan ini
berlangsung selama ¼ - ½ menit dan biasanya dijumpai pada anak.
1)
Hanya penurunan kesadaran.
2)
Dengan komponen klonik ringan. Gerakan klonis ringan
biasanya dijumpai pada kelopak mata atas, sudut mulut, atau otot-otot lainnya bilateral.
3)
Dengan komponen atonik. Pada sawan ini, dijumpai
otot-otot leher, lengan tangan, tubuh mendadak melemas sehingga tampak lunglai.
4)
Dengan komponen tonik. Pada sawan ini, dijumpai
otot-otot ekstrenitas, leher atau punggung mendadak mengejang, kepala, badan
menjadi melengkung ke belakang, lengan dapat mengentul atau mengendang.
5)
Dengan automatisme.
6)
Dengan komponen autonom.
2 hingga 6 dapat tersendiri atau kombinasi
Lena tak khas (atypical absence)
Dapat disertai:
1)
Gangguan tonus yang lebih jelas.
2)
Permulaan dan berakhirnya bangkitan tidak mendadak.
b.
Sawan Mioklonik
Pada sawan mioklonik
terjadi kontraksi mendadak, sebentar, dapat kuat atau lemah sebagian otot atau
semua otot, sekali atau berulang-ulang. Bangkitan ini dapat dijumpai pada semua
umur.
c.
Sawan klonik
Pada sawan ini tidak ada komponen tonik, hanya terjadi
kejang kelonjot. Dijumpai tertutama sekali pada anak.
d.
Sawan tonik
Pada sawan ini tidak ada
komponen klonik, otot-otot hanya menjadi kaku, juga terdapat pada anak.
e.
Sawan tonik-klonik
Sawan ini sering
dijumpai pada umur diatas balita yang terkenala dengan nama grandmal. Serangan
dapat diawali dengan aura yaitu tanda-tanda yang mendahului suatu sawan. Pasien
mendadak jatuh pingsan, otot-otot seluruh badan kaku. Kejang kaku berlangsung
kira-kira ¼ - ½ menit diikuti kejang otot-otot seluruh badang. Bangkitan ini
biasanya berhenti sendiri. Tarikan nafas menjadi dlam beberapa saat lamanya.
Bila pembentukan ludah ketika kejang meningkat, mulut menjadi berbusa karena
hembusan nafas. Mungkin pula pasien kencing ketika mendapat serangan. Setelah
kejang berhenti pasien tidur beberapa lamanya, dapat pula bangun dengan
kesadaran yang masih rendah atau langsung menjadi sadar dengan keluhan badan
pegal-pegal, lelah, nyeri kepala.
f.
Sawan atonik
Pada keadaan ini otot-otot seluruh badan melemas sehingga
pasien terjatuh. Kesadaran dapat tetap baik atau menurun sebentar. Sawan ini
terutama sekali dijumpai pada anak.
3.
Sawan tak tergolongkan
Termasuk golongan ini ialah bangkitan pada bayi
berupa gerakan bola mata yang ritmik, mengunyah-ngunyah, gerakan seperti
berenang, menggigil atau pernafasan yang mendadak berhenti sementara.
F. Pemeriksaan
Penunjang
Elektroensefalografi
(EEG) merupakan pemeriksaan penunjang yang informative yang dapat memastikan
diagnosis epilepsi bila ditemukan pola EEG yang bersifat khas epileptik baik
terekam saat serangan maupun di luar serangan berupa gelombang runcing,
gelombang paku, runcing lambat, paku lambat.
Pemeriksaan tambahan lain yang juga
bermanfaat adalah pemeriksaan foto polos kepala, yang berguna untuk
mendeteksinya adanya fraktur tulang tengkorak; CT-Scan, yang berguna
untuk mendeteksi adanya infark, hematom, tumor, hidrosefalus, sedangkan
pemeriksaan laboratorium dilakukan atas indikasi untuk memastikan adanya
kelaianan sistemik seperti hipoglikemia, hiponatremia, uremia dan lain-lain.
G. Diagnosis
Banding
Sinkop, gangguan jantung, gangguna
sepintas peredaran darah otak, hipoglikemia, keracunan, breath holding
spells, hysteria, narkolepsi, pavor nokturnus, paralysis tidur, migren.
H. Penatalaksanaan
Tujuan
pengobatan adalah mencegah timbulnya sawan tanpa mengganggu kapasitas dan
intelek pasien. Pengobatan epilepsi meliputi pengobatan medikamentosa fan
pengobatan psikososial.
1)
Pengobatan medikamentosa
Pada epilepsi yang simtomatis di mana sawan yang timbul adalah
manifestasi penyebabnya seperti tumor otak, radang otak, gangguan metabolic,
mka di samping pemberian obat anti-epilepsi diperlukan pula terapi kausal.
Beberapa prinsip dasar yang perlu dipertimbangkan:
a)
Pada sawan yang sangat jarang dan dapat dihilangkan
factor pencetusnya, pemberian obat harus dipertimbangkan.
b)
Pengobatan diberikan setelah diagnosis ditegakkan; ini
berarti pasien mengalami lebih dari dua kali sawan yang sama.
c)
Obat yang diberikan sisesuaikan dengan jenis sawan.
d)
Sebaiknya menggunakan monoterapi karena dengan cara ini
toksisitas akan berkurang, mempermudah pemantauan, dan menghindari interaksi
obat.
e)
Dosis obat disesuaikan secara individual.
f)
Evaluasi
hasilnya.
Bila gagal dalam pengobatan, cari penyebabnya:
-
Salah etiologi: kelaianan metabolisme, neoplasma yang
tidak terdeteksi, adanya penyakit degenerates susunan saraf pusat.
-
Pemberian obat antiepilepsi yang tepat.
-
Kurang penerangan: menelan obat tidak teratur.
-
Faktor emosional sebagai pencetus.
-
Termasuk intractable epilepsi.
g)
Pengobatan dihentikan setelah sawan hilang selama
minimal 2 – 3 tahun. Pengobatan dihentikan secara berangsur dengan menurunkan
dosisnya.
2)
Pengobatan Psikososial.
Pasien diberikan
penerangan bahwa dengan pengobatan yang optimal sebagian besar akan terbebas
dari sawan. Pasien harus patuh dalam menjalani pengobatannya sehingga dapat
bebas dari sawan dan dapat belajar, bekerja dan bermasyarkat secara normal.
3)
Penatalaksanaan status epileptikus
a)
Lima
menit pertama
Ø
Pastikan diagnosis dengan observasi aktivitas
serangan atau satu serangan berikutnya.
Ø
Beri oksigen lewat kanul nasal atau masker, atur
posisi kepala dan jalan nafas, intubasi bila perlu bantuan bentilasi.
Ø
Tanda-tanda vital dan EKG, koreksi bila ada
kelaianan.
Ø
Pasang jalur intravena dengan NaC10,9%, periksa
gula darah, kimia darah, hematology dan kadar OAE (bila ada fasilitas dan
biaya).
b)
Menit ke-6 hingga ke-9
Jika hipoglikemia/gula darah tidak diperiksa, berikan 50 ml
glukosa 50% bolas intravena (pada anak: 2 ml/kgBB/glukosa 25%) disertai 100 mg
tiamin intravena.
c)
Menit ke-10 hingga ke-20
Pada dewasa: berikan 0,2 mg/kgBB diazepam dengan kecepatan 5
mg/menit sampai maksimum 20 mg. Jika serangan masih ada setelah 5 menit, dapat
diulangi lagi. Diazepam harus diikuti dengan dosis rumat fenitoin.
d)
Menit ke 20 hingga ke-60
Berikan fenitoin 20 mg/kgBB dengan kecepatan <50 mg/menit
pada dewasa dan 1 mg/kbBB/menit pada anak; monitor EKG dan tekanan darah selama
pemberian.
e)
Menit setelah 60 menit
Jika status masih berlanjut setelah fenitoin 20 mg/kg maka
berikan fenitoin tambahan 5 mg/kg sampai maksimum 30 mg/kg. Jika status
menetap, berikan 20 mg/kg fenobarbital intravena dengan kecepatan 60 mg/menit.
Bila apne, berikan bantuan ventilasi (intubasi). Jika status menetap, anestasia
umum dengan pentobarbiatal, midazolam atau propofal.
4)
Perawatan pasien yang mengalami kejang :
a)
Berikan privasi dan perlindungan pada pasien dari
penonton yang ingin tahu (pasien yang mempunyai aura/penanda ancaman kejang
memerlukan waktu untuk mengamankan, mencari
tempat yang aman dan pribadi
b)
Pasien dilantai jika memungkinkan lindungi kepala
dengan bantalan untuk mencegah cidera dari membentur permukaan yang keras.
c)
Lepaskan pakaian yang ketat
d)
Singkirkan semua perabot yang dapat menciderai pasien
selama kejang.
e)
Jika pasien ditempat tidur singkirkan bantal dan
tinggikan pagar tempat tidur.
f)
Jika aura mendahului kejang, masukkan spatel lidah yang
diberi bantalan diantara gigi, untuk mengurangi lidah atau pipi tergigit.
g)
Jangan berusaha membuka rahang yang terkatup pada
keadaan spasme untuk memasukkan sesuatu, gigi yang patah cidera pada bibir dan
lidah dapat terjadi karena tindakan ini.
h)
Tidak ada upaya dibuat untuk merestrein pasien selama
kejang karena kontraksi otot kuat dan restrenin dapat menimbulkan cidera
i)
Jika mungkin tempatkan pasien miring pada salah satu
sisi dengan kepala fleksi kedepan yang memungkinkan lidah jatuh dan memudahkan
pengeluaran salifa dan mucus. Jika disediakan pengisap gunakan jika perlu untuk
membersihkan secret
j)
Setelah kejang: pertahankan pasien pada salah satu sisi
untuk mencegah aspirasi, yakinkan bahwa jalan nafas paten. Biasanya terdapat
periode ekonfusi setelah kejang grand mal. Periode apnoe pendek dapat terjadi selama
atau secara tiba-tiba setelah kejang. Pasien pada saat bangun harus
diorientasikan terhadap lingkungan
I. Prognosis
Pasien
epilepsi yang berobat teratur, 1/3 akan terbebas serangan paling sedikit 2
tahun dan bila lebih dari 5 tahun sesudah serangan terakhir obat dihentikan,
pasien tidak mengalami sawan lagi, dikatkan telah menglami remisi. Diperkirakan
30 % pasien tidak akan menglami remisi meskipun minum obat teratur.
Sesudah remisi, kemungkinan
munculnya serangan ulang paling sering didapat pada sawan tonik-klonik dan
sawan paarsial kompleks. Demikian pula usia muda lebih mudah menglami relaps
sesudah remisi.
J. Asuhan
Keperawatan
1
Pengkajian
Data fokus yang perlu dikaji
a.
Riwayat
Kesehatan
1)
Keluhan utama:
keluhan yang dirasakan pasien saat dilakukan pengkajian
2)
Riwayat
kesehatan sekarang: Riwayat penyakit yang diderita pasien saat masuk RS (apa
yang terjadi selama serangan )
3)
Riwayat
kesehatan yang lalu: sejak kapan serangan seperti ini terjadi, pada usia berapa
serangan pertama terjadi, frekuensi serangan, adakah faktor presipitasi seperti
demam, kurang tidur emosi, riwayat sakit kepala berat, pernah menderita cidera
otak, operasi atau makan obat-obat tertentu/alkoholik)
4)
Riwayat
kesehatan keluarga: adakah riwayat penyakit yang sama diderita oleh anggota
keluarga yang lain atau riwayat penyakit lain baik bersifat genetik maupun
tidak
5)
Riwayat sebelum
serangan: adakah gangguan tingkah laku, emosi apakah disertai aktifitas
atonomik yaitu berkeringat, jantung berdebar, adakah aura yang mendahului
serangan baik sensori, auditorik, olfaktorik
b.
Pemeriksaan
Fisik
1)
Keadaan umum
2)
Pemeriksaan
Persistem
a)
Sistem Persepsi
dan Sensori
Apakah pasien menggigit lidah, mulut berbuih,
sakit kepala, otot-otot sakit, adakah halusinasi dan ilusi, yang disertai
vertigo, bibir dan muka berubah warna, mata dan kepala menyimpang pada satu
posisi, berapa lama gerakan tersebut, apakah lokasi atau sifatnya berubah pada
satu posisi/keduanya
b)
Sistem
Persyarafan
Ø
Selama serangan: Penurunan kesadaran/pingsan?
Kehilangan kesadaran / lena? Disertai komponen motorik seperti kejang tonik, klonik, mioklonik, atonik, berapa
lama gerakan tersebut? Apakah pasien jatuh kelantai
Ø
Proses
Serangan: Apakah pasien letarsi, bingung, sakit kepala, gangguan bicara,
hemiplegi sementara, ingatkah pasien apa yang terjadi sebelum selama dan
sesudah serangan, adakah perubahan tingkat kesadaran, evaluasi kemungkinan
terjadi cidera selama kejang (memer, luka gores)
c)
Sistem
Pernafasan: apakah terjadi perubahan pernafasan (nafas yang dalam)
d)
Sistem Kardiovaskuler: apakah terjadi
perubahan denyut jantung
e)
Sistem Gastrointestinal: apakah terjadi
inkontinensia feses, nausea
f)
Sistem Integumen: adakah memar, luka gores
g)
Sistem Reproduksi
h)
Sistem Perkemihan: adakah inkontinensia urin
c.
Pola Fungsi
Kesehatan
1)
Pola persepsi
dan pemeliharaan kesehatan
Pemahaman pasien dan keluarga
mengenai program pengobatan pasien, keamanan lingkungan sekitar
2)
Pola Aktivitas
dan Latihan
Pemahaman klien tentang
aktivitas yang aman untuk pasien (minimal resiko cidera pada saat serangan)
3)
Pola Nutrisi
Metabolisme
Pasca serangan biasanya pasien
mengalami nansea
4)
Pola Eliminasi
Saat serangan dapat terjadi
inkontinensia urin dan atau feses
5)
Pola Tidur dan
Istirahat
Salah satu faktor presipitasi
adalah kurangnya istirahat/tidur
6)
Pola kognitif
dan Perseptual
Adakah gangguan orientasi,
pasien merasa dirinya berubah
7)
Persepsi diri
atau konsep diri
Pentingnya pemahaman dengan
berobat teratur dapat terbebas dari sawan
8)
Pola toleransi
dan koping stress
Adakah stress dan gangguan
emosi
9)
Pola sexual
reproduksi
10) Pola hubungan dan peran
11) Pola nilai dan kenyakinan
2
Diagnosa keperawatan yang sering muncul pada klien
dengan epilepsy antara lain :
1)
Resiko aspirasi
berhubungan dengan penurunan tingkat kesadaran sekunder terhadap kejang
2)
Resiko trauma
pada saat serangan berhubungan dengan penurunan tingkat kesadaran dan kejang
tonik-klonik
3)
Koping defensif
berhubungan dengan respon terhadap hal-hal sekunder terhada epilepsy
4)
Defisit
pengetahuan tentang penyakit, pengobatan dan perawatan pasien berhubungan
dengan keterbatasan kognitif, kurang paparan atau mudah lupa
5)
Potensial
komplikasi : kejang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar